


DEATH PARTY
Chapter 9
Suara alunan musik berpadu dengan lembut, menciptakan simfoni yang megah dan penuh wibawa. Dentingan musik meriah itu menggema ke seluruh penjuru Kerajaan Bismut, sementara cahaya langit menyinari jalan-jalan kerajaan dengan penuh kebenaran, memancarkan aura kemenangan dan kebahagiaan, anak-anak tersenyum dan bermain dengan gembira.
Setelah acara penghargaan besar itu usai, para prajurit pemberani kerajaan menerima penghargaan atas jasa mereka. Azra dan NEO, dua pahlawan yang menjadi sorotan, segera bergegas meninggalkan kerajaan dan kembali ke rumah kecil mereka. Namun, sebelum Azra melangkah jauh, raja Steir, menghampiri dan bertanya, "Petualangan apa yang akan kau lakukan berikutnya, Nona?"
NEO, yang selalu siap membantu, menjawab dengan tenang, "Kami akan segera kembali ke Oracle untuk menyampaikan kabar kemenangan ini, lalu bergabung kembali dengan Tentara Pelindung UNO dan melaksanakan tugas selanjutnya."
Steir tampak terkejut, namun kagum dengan semangat mereka. "Luar biasa. Jika kalian kembali ke markas UNO, bawalah surat ini," ucap Steir seraya menyerahkan sebuah gulungan surat. "Sampaikan surat ini kepada pemimpin UNO."
Azra menerima surat itu dengan mata berbinar. Wajahnya cerah, penuh tekad. "Aku berjanji akan menyampaikan surat ini kepada pemimpin UNO," katanya.
Dengan langkah kuat, Azra meninggalkan istana yang megah. Di sepanjang jalan, para penduduk kerajaan menyambutnya dengan sorak sorai. Beberapa dari mereka bahkan mengiringi langkahnya hingga ke gerbang luar kerajaan, melambaikan tangan sambil berteriak, "Sampai jumpa lagi, Nona Azra!"
Saat mencapai ujung gerbang, Azra menoleh ke belakang. Pemandangan penduduk yang melambaikan tangan dengan semangat membuat hatinya berat untuk pergi.
Rasa sedih dan kecewa melintas di wajahnya. Meskipun hatinya enggan, ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Dengan langkah berat, ia dan NEO melanjutkan perjalanan, melewati jembatan panjang yang menghubungkan kerajaan dengan dunia luar.
Di bawah terik matahari yang semakin menyengat, Azra dan NEO saling berbicara, mencoba menyusun rencana bagaimana mereka akan menjelaskan segala kejadian yang mereka alami kepada Paman Jake. Kekhawatiran melintas di benak Azra, terutama karena rambutnya kini berubah menjadi putih—sesuatu yang pasti akan menimbulkan kecurigaan Paman Jake.
Mereka menelusuri tebing-tebing curam dan menyebrangi sungai-sungai hingga langit mulai menjadi gelap, dan akhirnya tiba di rumah kecil mereka. Azra, yang penuh kehati-hatian, meraih gagang pintu dengan pelan, berniat masuk tanpa suara agar tidak menarik perhatian pamannya. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh gagang, gagang pintu itu berputar sendiri.
Pintu terbuka, dan di sana berdiri Paman Jake, dengan wajah panik dan cemas. Ia terdiam sesaat, melihat Azra dan NEO di ambang pintu. "Azra?" suaranya bergetar penuh kebingungan. Matanya terpaku pada rambut putih Azra, dan detik itu, ia tahu bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi.
Saat itu langit mulai memudar, angin malam dingin menyapu pepohonan di sekeliling pulau Oracle. NEO, robot penjaga setia Azra, tiba-tiba mengeluarkan suara nyaring dan perlahan tubuh logamnya bergetar lemas. Cahaya di panel energinya berkedip-kedip, tanda bahwa baterainya hampir habis. Azra, yang menyadari kondisi NEO, langsung merangkulnya erat, namun sebelum ia sempat berbuat banyak, suara tegas paman Jake memanggilnya.
“Masuk ke rumah, sekarang,” seru Jake, tatapannya tajam namun gelisah. Di balik sorot matanya, Azra menangkap sesuatu yang ganjil—ketakutan yang tidak biasa.
Di dalam rumah, suasana sunyi namun tegang. Mereka duduk di dapur, Azra masih mencoba menenangkan NEO yang mulai kehilangan daya. Paman Jake memperhatikan Azra dengan penuh waspada, matanya menyapu dari ujung kepala hingga kaki. Ekspresi Jake yang semula tegang dan cemas perlahan berubah. Wajahnya, yang awalnya memancarkan amarah panas, tiba-tiba melunak. Ia menarik napas panjang, mencoba mengatur diri.
“Azra… rambut putihmu itu, apa kau mengerti?” ucap Jake, suaranya rendah dan misterius.
Azra tersentak, hendak membantah. “Paman, aku bisa jelaskan, tapi—"
Belum sempat ia selesai bicara, suara pecah dari alat komunikasi di genggaman Jake menghentikannya.
“Laksamana Uroboros, masuk ini Ester Laksamana Menhilt, kami mendeteksi banyak titik yang bergerak dari arah samudera—ratusan monster berterbangan, menuju pulau Oracle. Kalian harus segera evakuasi ke arah timur pulau, di sana terdapat kerajaan Bismuth!”
Azra merasakan ketakutan yang tak biasa. “Paman, berita gila apa itu? Apa kita benar-benar harus segera pergi?” dalam hati Azra, ia sudah menduga dan membayangkan mahluk terbang itu adalah naga yang ia lawan sebelumnya, namun kali ini jumlahnya diluar nalar.
Jake mencoba menenangkan Azra. “Tenang, Azra. Kita akan evakuasi dengan cepat, tapi sebelum itu, aku harus mendengar ceritamu. Kau berkata soal burung raksasa…?"
Dengan tangan bergetar, Azra mulai menjelaskan. “Aku hanya ingin menenangkan diri di sungai, tapi tiba-tiba muncul burung raksasa yang buas, menyerang kami tanpa peringatan!” Dalam ketegangan yang menyelimuti mereka, Azra menyambungkan NEO ke sumber daya listrik di dapur, berharap ia segera kembali pulih.
Jake menatapnya dengan cemas. “Azra, di luar sana terlalu berbahaya! Kau tidak boleh keluar tanpa memberitahuku.”
Azra menunduk, menceritakan bagaimana Robo-Guard datang melindungi mereka, hingga mereka terdampar di sebuah kerajaan dan bertarung bersama melawan naga.
Wajah Jake mendadak pucat. “Robo-Guard… tumbang demi melindungimu?” pikirnya, seolah-olah hatinya tertikam rasa bersalah. “Azra, aku sudah berusaha sebaik mungkin melindungimu… Tapi….”
Azra mendongak. “Paman, selama ini aku terperangkap di sini. Sepuluh tahun, dan aku tak tahu apa-apa tentang dunia di luar sana!”
Jake mencoba menenangkan gadis itu, namun ledakan besar tiba-tiba mengguncang rumah, memecahkan jendela dan pintu. Mereka terpelanting ke dinding dapur, debu mengepul, mengaburkan pandangan mereka. Dari balik debu, terdengar auman mengerikan, dan perlahan siluet makhluk besar dengan mata menyala merah muncul dari lubang besar di dinding.
Jake tersentak, matanya menyipit saat ia melihat musuh besar itu. “Azra, kau harus pergi dari sini. Pulau ini telah ditemukan oleh para Axelen,” bisik Jake dengan cepat. “Bersama NEO, pergi dan terbanglah ke arah timur tempat kerajaan Bismuth. Itu satu-satunya tempat aman!.”
Azra mengangguk ragu, segera berlari ke ruang lab tempat NEO diisi daya. Ia membuka tabungnya, dan NEO mulai bangkit, matanya berpendar penuh energi. Namun saat mereka bergegas keluar, terdengar jeritan yang mencekam dari luar—warga desa telah ditawan.
Seorang penunggang naga, dengan tombak mengarah ke Jake, mendesis dengan nada penuh ancaman, “Di mana gadis kecil yang membunuh naga kami? Dia takkan lolos, kami bisa mencium bau bangkainya dari jauh!”
Di tengah kobaran api, Azra yang menyaksikan dari balik dinding tak tahan lagi. Ia mengangkat tangannya, dan menembakan bola api biru dari lengannya, menghantam barisan penunggang naga. “Pergi, paman! Aku akan menghabisi mereka!” teriaknya, menyalakan semua alat tempur yang disembunyikan di rumah itu.
Jake merunduk dan mengeluarkan senjata dari bawah meja makan. dan mencoba melihat keadaan dirumah mereka, seluruh penduduk berlumuran darah dan terluka parah, para pasukan penyihir telah mencabik-cabik desa mereka, Azra dan Jake pun mencoba menyelamatkan penduduk yang tersisa, namun Azra tertangkap oleh salah satu tangan naga yang menyelinap dari belakang mereka, badan Azra di tekan dan akan diremukan, namun Jake segera menembak kepala naga itu dengan senjata shoutgunnya.
Jake menggendong Azra yang kesakitan dan berlari menjauh dari medan pertempuran, mereka sadar bahwa mereka tidak mampu melawan serbuan naga, mata NEO pun tiba-tiba menyala berkedip merah dan biru. Dentuman kaki naga yang sangat ricuh dan gesit mengejar mereka ke dalam hutan, tiba-tiba serangan muncul dan mengenai para naga dari langit.
Ratusan drone tempur muncul dari panggilan darurat NEO di dalam gudang bawah tanah, melesatkan rudal dan memusnahkan para penunggang naga satu demi satu. Rumah Azra tiba-tiba bergerak dan bangun seperti hidup tak disangka di bawah rumah mereka tersimpan drone yang sangat besar sudah bersiap untuk bertempur menyetrum dan menyambar pasukan naga seperti tulisan yang terpampang di badan besinya "BOLT", Pertempuran berlangsung sengit, puluhan naga hangus dan hancur organ-organnya terkena serangan para drone, darah-darah naga pun berceceran di seluruh medan perang.
Azra dan Jake mulai kembali merasakan semangat dan melihat harapan untuk hidup.
Namun badan mereka berdua mendadak menjadi dingin membeku seperti batu, debu-debu partikel terlihat melayang dengan sangat lambat waktu seperti berhenti, mata mereka tertuju ke satu arah. Mereka melihat siluet ksatria berbaju jirah hitam tersenyum lebar dengan tatapan datar namun tajam dari jauh di belakang barisan naga-naga yang bergerak di kegelapan pepohonan, ia berdiri sendiri, tenang dan tersenyum, menatap balik mereka berdua dengan gigi taring yang lebar.
Seluruh pasukan naga serentak berhenti, sang ksatria kegelapan melayang ke langit, dengan tangan terangkat, memanipulasi bola merah yang tampak seperti gumpalan darah. Ia mengangkat tangannya, dan seluruh darah di medan perang terhisap oleh bolanya dan melayang, membentuk kristal darah tajam yang sangat besar, menghujam tanah dengan kekuatan luar biasa.
BOOM!!!!
Seluruh permukaan tanah berubah menjadi kristal tajam mengejar, menusuk seluruh penduduk yang berlarian. Semuanya lenyap begitu saja, hancur menjadi puing-puing.
“Azra, kita harus segera pergi!” desis Jake, melihat kristal-kristal itu terus bergerak dan menusuk drone yang berterbangan dan android di sekitar mereka.
Ksatria hitam itu berteriak, suaranya menggema menakutkan. “MATI LAH DENGAN TENANG, DARAH KALIAN AKAN BERTEMPUR LAGI SAAT AKU MENGUBAH KALIAN MENJADI MONSTER KU!!”
Seketika itu juga, seluruh medan pertempuran di penuhi oleh kristal darah yang runcing. Azra dan Jake berlari menyelamatkan diri, melintasi hutan yang bergejolak di bawah kekuatan mematikan ksatria kegelapan. Meski terluka, Azra menolak menyerah. Azra bersumpah akan melawan sampai akhir, tak peduli musuh apa yang menghadang.
Di dalam hatinya, ia tahu inilah panggilannya—untuk bertempur demi pulau Oracle, tanah kelahirannya yang tercinta, dan demi takdir yang kelak akan ia tentukan sendiri.
Azra dan Jake akhirnya berhasil mencapai tebing di sisi timur pulau, persis di tepi samudera yang ganas, sesuai dengan rencana Laksamana Menhilt. Dari kejauhan, deburan ombak menghantam karang dengan keras, seolah merasakan ketegangan yang membalut setiap langkah mereka. Nafas Jake terengah-engah, sementara Azra terus mengawasi langit di belakang mereka, khawatir penunggang naga akan segera menyusul.
"Ester, ini Jake! Kami sudah berada di pos timur 51, tepat sesuai titik koordinat. Di mana kapal tempurmu? Pasukan naga semakin dekat! Butuh bantuan secepatnya; dengan tembakan dari kapalmu, kita bisa menjatuhkan mereka!" teriak Jake ke alat komunikasinya.
Tak lama kemudian, dari balik kabut yang menggantung di atas laut, terdengar raungan mesin bertenaga besar. Ombak samudera tiba-tiba terbelah, dihantam oleh kapal tempur Menhilt yang melaju cepat, bagaikan monster logam raksasa yang siap menelan apa pun di jalurnya. Di atas kapal, Laksamana Menhilt berdiri gagah di dek, wajahnya serius dan tegas, pandangan matanya tajam menyapu horizon.
"TURUNKAN JANGKAR!" teriak Menhilt kepada anak buahnya. "BELIKAN KEMUDI KE ARAH JAM DUA! SIAPKAN SNIPER MORTAR!"
Para prajurit di atas kapal segera beraksi, puluhan sniper kapal diarahkan ke sudut yang tepat, laras-larasnya mengarah ke hutan di mana gerombolan pasukan naga sedang menerobos, mencari mangsa mereka. Raut wajah Menhilt tetap tak tergoyahkan, meski suara sayap naga mulai terdengar mengerikan, memenuhi udara di atas hutan dan menyelimuti langit.
Dari dek kapal, Menhilt menekan tombol komunikasi, memastikan semua pasukan siap. "Target terlihat. Tetap dalam posisi. Tembakan akan dilepaskan dalam hitungan saya."
Jake menggenggam tangan Azra erat-erat, melindunginya dari badai pasir dan debu yang beterbangan di sekitar mereka. Di depan mereka, kapal tempur Menhilt tampak seperti harapan terakhir. Wajahnya tegang, tetapi tak ada yang dapat mereka lakukan selain menunggu aba-aba serangan yang akan meledakkan langit, dan—dengan sedikit keberuntungan—menghancurkan semua naga yang mengejar mereka
Contact :
Azimamoyo@gmail.com
© 2024. All rights reserved.