


GLORY
Chapter 8
Dari dalam asap tebal, tampak sosok bayangan gelap bergerak dengan gemetar, perlahan membesar seiring dengan langkahnya. Kilatan cahaya muncul di sepasang matanya, dan tubuhnya dikelilingi percikan petir yang mengitari seperti badai.
Cahaya itu kelap-kelip menerangi kegelapan di dalam asap, menyingkap sosok seorang ksatria berzirah besi, berjalan perlahan dengan penuh tekad. Di tangannya, ia menggenggam sesuatu yang gelap, sebuah pedang besar dengan garis cahaya yang mulai bersinar terang, menjulur dengan nyala yang semakin panjang dan berbahaya.
Asap tebal yang menyelimuti medan pertempuran perlahan memudar, memperlihatkan sang penunggang naga yang mengawasi sosok siluet tersebut dari kejauhan. Dia memperhatikan dengan seksama, merasakan ancaman yang semakin dekat. Saat kabut menghilang sepenuhnya, terlihat besi-besi mengkilat dari zirah sang ksatria—Azra. Doom! Suara hempasan angin menggema, menghapus sisa-sisa asap yang tersisa.
Azra kini berdiri tegak, siap untuk melepaskan energi yang melonjak di dalam tubuhnya. Di tangannya, pedang listrik bersinar begitu terang, memancarkan api biru dan kilatan listrik yang berdesis liar. Wajah Azra berubah menjadi penuh amarah, tatapan matanya yang tajam menancap ke arah lawannya. Dia mengumpulkan seluruh kekuatannya, emosinya diluapkan dalam satu serangan terakhir.
"Hyaa!!"
Azra berteriak dengan lantang, mengeluarkan serangan yang begitu dahsyat. Ledakan besar meletus dari pedangnya, menjalar ke tanah, membentuk dinding cahaya yang dipenuhi listrik dan api biru yang berdesis. Cahaya itu melesat dengan kecepatan luar biasa sampai-sampai sang penunggang naga tak bisa berkutik, cahaya itu membelah tanah dan udara, menembus segalanya. Tebasan itu bergerak menuju sang penunggang naga.
Penunggang naga terkejut, tak ada waktu untuk menghindar. Serangan Azra menghantam tubuhnya dengan kekuatan mematikan. Tubuhnya terkoyak, terbakar habis oleh api biru yang menyala-nyala. Suara jeritan kesakitan menggema, terdengar jelas saat tubuhnya perlahan hancur dan lenyap, berubah menjadi abu yang beterbangan di udara. Kilatan terakhir dari tubuh sang penunggang memudar bersamaan dengan suara teriakannya yang menggema di udara.
"Matilah kau monster!" teriak Azra dengan suara dingin, penuh kemarahan, saat penunggang naga itu lenyap dalam debu dan kegelapan.
Pertempuran berakhir. Hanya suara angin yang tersisa, membawa sisa-sisa abu sang penunggang naga yang hancur lebur di bawah serangan Azra yang begitu dahsyat.
Aender yang menyaksikan kehancuran sang penunggang naga tertegun sejenak, matanya membuka lebar karena tak percaya. Namun, perlahan senyum lebar mulai terbentuk di wajahnya. Dengan suara lantang yang penuh kebahagiaan, ia berteriak, “Kita berhasil! Kita telah menang! Prajurit, bersoraklah! Perang sudah berakhir!”
Sorakan menggema di udara, mengisi medan perang yang kini mulai tenang. Para prajurit yang tersisa segera membantu korban yang terluka, termasuk Albert yang masih terbaring dengan luka-luka. Aender, sambil berjalan ke arah Azra yang tergeletak di tanah, menatap prajurit muda itu dengan kekaguman.
"Huh... huh... Apakah ini sudah berakhir?" Azra bergumam, napasnya tersengal-sengal. Lututnya melemas, dan ia akhirnya terbaring di atas tanah yang dingin. "Rasanya... aku ingin pingsan lagi..." Pikirannya bercampur antara rasa lega dan kelelahan yang luar biasa. Namun, di sela-sela keheningan, ia mendengar suara Aender yang samar, seperti memanggilnya dari kejauhan.
“Prajurit, kau berhasil! Kau telah menghancurkan naga dan penunggangnya. Aku akan membawamu ke rumah sakit istana, kau bisa beristirahat di sana.”
Dengan hati-hati, Aender mengangkat tubuh Azra yang kecil namun penuh kekuatan itu. Tak disangka, seluruh penduduk yang bersembunyi di balik pagar istana kini keluar, menyaksikan momen bersejarah itu. Mereka bersorak memuji sang prajurit kecil.
“Hidup prajurit! Hidup prajurit!” teriak mereka serempak. Mereka menghampiri Azra, yang meski berada di ambang kesadaran, masih sempat mendengar pertanyaan penduduk yang penuh rasa hormat.
“Siapa namamu, pahlawan kami?” tanya seorang wanita tua, matanya berbinar-binar penuh harapan.
Azra tersenyum lemah, “Namaku... Azra... Tapi aku bukan pahlawan kalian... Aku...” Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, kepalanya semakin berat dan tubuhnya terasa semakin lelah. “Aku sedikit pusing...” Ia pun kehilangan kesadarannya.
Beberapa waktu kemudian, Azra terbangun di sebuah klinik istana. Matanya perlahan terbuka, dan ia melihat NEO—partnernya—berdiri di samping tempat tidur, setia menemaninya. Suara dari kamar sebelah terdengar samar, suara seorang pria yang jelas terdengar penuh amarah.
“Tidak! Seharusnya akulah yang melindungi kalian! Jika saja panah itu tidak menembus baju besiku, aku tidak akan jatuh semudah itu!” Albert berteriak, penuh penyesalan.
Aender, yang duduk bersamanya, menepuk bahu Albert untuk menenangkannya. “Kau sudah bertarung dengan sangat baik, saudaraku. Kau mengendalikan situasi dan pasukan dengan luar biasa. Pasukanmu bahkan berhasil membuat naga itu lari ketakutan. Itu hal yang luar biasa!” ucap Aender dengan penuh keyakinan.
Albert mendesah berat, menyerah pada kenyataan, namun pikirannya terus terganggu oleh kisah Aender tentang prajurit yang turun dari langit dengan senjata layaknya dewa. Ada rasa penasaran yang membara di dalam dirinya. Ia ingin melihat langsung prajurit yang telah menumbangkan naga dan penunggangnya itu dengan kekuatannya sendiri.
“Aku tidak percaya ada makhluk di dunia ini yang bisa menahan sambaran petir sekuat itu... dan tetap hidup,” gumam Albert penuh takjub.
Mereka berdua berdiri dan menuju ruangan tempat Azra dirawat. Tim medis berusaha membantu mereka, tetapi seorang dokter menghampiri mereka dengan wajah cemas, memberitahu bahwa mereka tidak bisa merawat gadis itu karena ada sosok "makhluk besi" yang menjaga dengan ketat. Mendengar hal itu, Albert semakin penasaran, namun Aender hanya tersenyum tipis, sudah menduga bahwa itu adalah NEO, zirah berbicara yang menemani Azra.
Saat mereka tiba di kamar, Albert terkejut. Di hadapannya bukan seorang prajurit besar yang ia bayangkan, melainkan seorang gadis kecil yang sangat cantik. Dia mendekat perlahan ke arah tempat tidur Azra, menatapnya dengan campuran rasa hormat dan rasa tidak percaya.
Ia menahan napas sejenak sebelum mencoba berbicara dengan gadis yang luar biasa itu—prajurit yang telah menumbangkan seekor naga dan menaklukkan sang penunggang naga yang mematikan.
Albert memandangi Azra dengan mata yang tak biasa. "Dia sangat cantik... wajahnya begitu mempesona! Aku belum pernah melihat perempuan secantik ini. Dia... dia seperti bidadari..." suara hatinya bergema, menggetarkan batinnya. Albert tiba-tiba merasa gugup, keringat dingin mulai mengalir saat ia mencoba mengucapkan kata-kata. Dengan terbata-bata, ia berkata, "No... no... nona... perkenalkan... namaku—"
Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, NEO, zirah pelindung Azra, dengan sigap menghalangi Albert yang hendak menjabat tangan Azra. "Kondisi Nona Azra tidak baik. Kau harus menjaga jarak, Tuan!" kata NEO dengan suara mekanis tegas.
Azra hanya tersenyum lemah, duduk di tempat tidurnya sambil menahan tawa kecil. Keramaian terdengar dari balik pintu kamar, mengganggu momen canggung itu. Tiba-tiba, pintu terbuka dan muncul Raja Steir dan Ratu Senyaya, langkah mereka penuh kekhawatiran. Mereka langsung memasuki ruangan, wajah keduanya dipenuhi kegelisahan, ingin memastikan keadaan anak-anak mereka.
"Aender, Albert! Apakah kalian baik-baik saja, anak-anakku?" Ratu Senyaya langsung menghambur, meneliti tubuh Aender dan Albert dengan cermat. Matanya sibuk menelisik setiap luka di tubuh kedua putranya, penuh kecemasan seorang ibu.
"Ibu, kami baik-baik saja. Hanya terluka sedikit," jawab Aender dengan nada tenang. Albert mengangguk lemah, meskipun wajahnya masih menyimpan tanda-tanda kelelahan.
Raja Steir menatap putra-putranya dengan bangga, senyumnya merekah. "Kalian luar biasa, anak-anakku! Kalian telah membasmi iblis naga itu, menyingkirkannya dari kerajaan ini untuk selamanya! Hahaha!" suaranya menggema di dalam ruangan, penuh dengan rasa syukur.
Namun, Aender segera memotong euforia ayahnya. "Tidak, Ayah, kami bukanlah pahlawan yang membunuhnya. Pasukan kerajaan hanya cukup kuat untuk melukai iblis itu, namun tidak sampai mengalahkannya sepenuhnya."
Mendengar itu, Raja Steir terlihat kebingungan. "Lalu... jika bukan kalian, siapa lagi yang bisa melakukan hal sehebat itu?" tanyanya, penasaran.
Aender menarik napas panjang, kemudian menunjuk ke arah Azra yang masih duduk di tempat tidur. "Ada seorang prajurit pemberani yang muncul dari langit, Ayah. Ia menggunakan perlengkapan teknologi yang jauh lebih maju dari apa pun yang dimiliki kerajaan ini. Dan kau sedang mengabaikannya sekarang."
"Apa?! Siapa dia?!" seru Raja Steir dengan nada tak percaya. "Di mana prajurit hayalan mu itu, Aender?"
Aender menunjuk langsung ke Azra yang terbaring lemah di tempat tidur. "Dia ada di hadapanmu, Ayah. Gadis kecil yang berbaring di sana... dialah yang membunuh naga dan penunggangnya."
Raja Steir terkejut, matanya melebar kaget. "Apa?! Tidak mungkin!" serunya sambil menuding Azra. "Kau... seorang gadis kecil?!" Raja tampak ragu, seolah-olah kenyataan ini tak masuk akal baginya. "Perkenalkan nama ku adalah Steir Raja dari kerajaan Bismuth, Aku tidak pernah melihatmu di kerajaan ini. Dengan segala hormat perkenalkan lah dirimu wahai gadis!, aku sangat tertarik dengan berita luar biasa ini membunuh seekor naga? Aku ingin penjelasan yang terbarik dari mu."
Azra yang baru saja sadar, menatap Raja Steir dengan tatapan penuh keteguhan. Meski tubuhnya masih lemah, sorot matanya memancarkan kekuatan yang luar biasa. Suaranya serak, namun tegas saat ia berkata, “Namaku Azra, Tuan. Aku berasal dari Desa Fixiy di Pulau Oracle. Naga itu menyerang kami tanpa peringatan. Aku dan robotku mencoba bertahan dan melawan, tapi naga itu menebas kami ke langit, hingga kami jatuh di kerajaan ini.” Ia menarik napas, suaranya semakin kukuh. “Aku mungkin bukan dari kerajaan ini, tapi aku datang untuk membantu, untuk menyelesaikan tanggung jawabku.”
Ruangan itu hening sejenak. Semua mata, termasuk Raja dan Ratu, kini tertuju pada sosok gadis kecil yang duduk di ranjang, gadis yang telah membinasakan ancaman terbesar mereka—sang naga dan penunggangnya.
Raja Steir mengamati Azra dalam diam. Di dalam hatinya, ia bergumam, “Tak kusangka dia adalah tentara UNO yang bertugas di Pulau Oracle. Kekuatan sekuat ini... luar biasa.”
Raja tertawa, tawa yang menggema di ruangan besar itu. “Hahaha! UNO! Awalnya kukira kau adalah penyusup, aku bahkan berpikir akan memancung kepalamu, Nona...”
Azra menatap Raja dengan tenang, sementara robotnya, NEO, segera menjawab. “Benar, Tuan. Kami sedang menjalankan tugas menjaga kedamaian Pulau Oracle.”
Raja mengangguk perlahan. “Kalau begitu, kau telah menyelesaikan tugasmu dengan baik, Nona. Kau berhasil membasmi iblis dan melindungi kami. Kau benar-benar prajurit yang kuat, sangat kuat. Kau telah memenuhi perjanjian kerajaan.”
Perjanjian? UNO? pikir Azra, kebingungan melintas di wajahnya. Ia tak mengerti maksud Raja Steir.
Raja melanjutkan, suaranya kini lebih serius. “Bertahun-tahun lamanya kami tak mendengar apa pun dari UNO. Kerajaan kami merasa dilupakan, namun hari ini, kau, Nona, telah menjadi simbol harapan kami.”
Azra terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Kemudian, Raja menatapnya lebih dalam. “Ngomong-ngomong, di mana tentara lainnya, Nona Azra?”
Azra gemetar, kegugupan menyelimutinya. Ia tahu, jika kata-katanya salah, hidupnya bisa berakhir di sini. “Uh, mereka...,” katanya tergagap, sebelum NEO kembali menyelamatkannya.
“Tuan, kami sangat bersedih. Semua prajurit lainnya tidak selamat dari serangan naga di hutan Pulau Oracle. Semburan api naga itu melahap mereka. Mereka berkorban dengan berani, berusaha menyelamatkan desa-desa dan kerajaan, tapi tak ada yang selamat.”
Raja mengangguk pelan, matanya sayu. “Sedih sekali mendengar hal itu. Andai mereka bisa tiba di kerajaan, aku akan memberi mereka penghargaan. Namun, biarlah robot canggihmu mewakili pengorbanan mereka.”
Raja menoleh ke Azra. “Nona Azra, besok kami akan merayakan kemenangan besar ini. Setiap prajurit yang berani melindungi kerajaan Bismuth akan mendapat penghormatan. Aku berharap kau telah pulih untuk menghadiri upacara itu.”
Azra hanya mengangguk, masih tak percaya dengan semua yang terjadi. Saat keluarga kerajaan pergi, meninggalkan ruangan, Azra berbalik kepada NEO. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
NEO tiba-tiba mendapatkan panggilan dari Jake. “Bip, bip... NEO, bagaimana keadaan di sana?”
“Semua terkendali, Tuan Jake. Kami sedang mengantisipasi semua bahaya.”
“Bagus,” jawab Jake. “Tapi aku tidak bisa pulang malam ini. Aku harus menjaga pangkalan militer di pelabuhan. Namun, aku ingin melihat kondisi Azra. Kirimkan foto dirinya, ya.”
NEO menjadi gugup, dan Azra memandangnya curiga. “Apa? Mengapa harus foto?”
Rambut Azra telah berubah menjadi putih. NEO segera berbisik, “Kita tidak bisa membiarkan Jake tahu tentang ini.”
Azra terkejut. “Apa? Rambutku menjadi putih? Sejak kapan?”
“Itu adalah efek samping dari serum Hiraet, Nona. Serum itu aku suntikkan agar kau bisa bertahan dari serangan naga. Ia meningkatkan ketahanan tubuh dan mempercepat regenerasi sel. Tanpanya, kau mungkin takkan selamat.”
Azra menatap NEO dengan marah. “Kau... menyuntikkan serum itu tanpa sepengetahuanku?”
NEO menunduk. “Maaf, Nona. Aku tidak punya pilihan. Hisao yang memberikannya padaku. Dia telah memprediksi bahwa situasi berbahaya seperti ini akan terjadi.”
Azra menarik napas dalam. “Apa boleh buat. Serum itu sudah mengalir dalam darahku. Aku hanya berharap tidak ada efek samping lain yang berbahaya.”
Setelah perbincangan selesai, NEO mengambil foto Azra dengan handuk menutupi kepalanya dan mengirimkannya kepada Jake. Bersama-sama, mereka menyusun rencana agar bisa pulang tepat waktu, sebelum pamannya menyadari sesuatu yang aneh.
Malam tiba, dan staf medis kerajaan membawa makanan yang lezat untuk Azra. Kelaparan setelah pertempuran sengit dengan naga, Azra menyantap semuanya hingga perutnya terasa buncit. Dengan kenyang, ia beristirahat, mempersiapkan diri untuk undangan kehormatan esok hari.
Keesokan paginya, Azra tiba di lobi istana. Di luar dugaannya, ratusan warga memanggil namanya, memujinya sebagai pahlawan. “Pahlawan Azra!” teriak mereka. Azra merasa terkejut sekaligus tersentuh, melihat betapa besar penghargaan yang diberikan kepadanya. Banyak yang mencoba menjabat tangannya dan memeluknya.
Saat ia masuk ke dalam istana, ruangan megah penuh dengan anggota kerajaan dan para prajurit. Azra duduk di kursi yang telah disiapkan untuknya, tepat di depan. Meskipun gugup, ia menahan rasa cemasnya.
Akhirnya, upacara penghormatan dimulai. Raja Steir berdiri di depan jendela besar yang memancarkan cahaya megah. Satu per satu, nama pahlawan dipanggil. Nama pertama yang dipanggil adalah Azra.
Azra berdiri dengan tegap dan melangkah maju ke hadapan Raja. “Aku nobatkan Azra sebagai pahlawan kerajaan Bismuth!” seru Raja Steir.
Pedang besi yang mengilap menyentuh bahu Azra, kanan dan kiri, dan kemudian, mahkota emas berbentuk padi disematkan di kepalanya. Sorakan membahana dari seluruh ruangan.
Azra tak kuasa menahan air mata. Siapa sangka, dirinya yang dulu hanyalah seorang gadis biasa dari Desa Fixiy, kini menjadi pahlawan yang dihormati seluruh penduduk kerajaan.
Contact :
Azimamoyo@gmail.com
© 2024. All rights reserved.