


EXPLOSION POWER
Chapter 7
Saat api naga yang menggelegar menghantam barikade, prajurit-prajurit kerajaan tak bergerak sedikitpun. Mereka tetap tegak, berdiri dan bertahan, meskipun gelombang panas terasa membakar udara di sekitar mereka. Nyala api raksasa itu seolah melahap mereka perlahan-lahan. Tapi ketika semburan api menyentuh perisai hitam di tangan mereka, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Perisai-perisai itu, yang semula tampak gelap dan tak bersinar, tiba-tiba memancarkan cahaya magis yang memukau. Cahaya itu bersinar, menciptakan lapisan pelindung misterius di sekitar prajurit-prajurit itu. Dalam hitungan detik, api yang mengerikan menghilang tanpa meninggalkan jejak, seakan ditelan oleh kekuatan yang tak terlihat.
Penunggang naga, terkejut dan merasakan ketidakpercayaan. "Apa... apa ini?" gumamnya, suaranya penuh kebingungan dan ketakutan "ini mustahil". Ia tak pernah menyangka prajurit-prajurit ini bisa menahan serangan mematikan dari naga tempurnya—serangan yang seharusnya menghancurkan mereka menjadi abu.
"Bersiap! Perisai, mode serang!" seru Albert dengan suara lantang.
Tanpa menunggu, semua pasukan barikade langsung memutar gagang perisai mereka. Dalam sekejap, perisai yang tadinya datar dan tumpul berubah menjadi runcing di bagian tengah, menyerupai duri landak. "Tembak!" Albert kembali berteriak.
Pasukan serentak menarik gagang perisai mereka, seperti mengokang senjata. Tak disangka, kilatan cahaya magis memancar dari perisai-perisai itu, menghantam udara menuju naga. Sinar putih berkilau, dipenuhi peluru besi yang melesat dengan cepat, menembus kulit tebal sang naga, menghancurkan dagingnya yang keras bagaikan baja. Naga raksasa itu mengeluarkan raungan keras, tubuhnya terpental ke belakang, menghantam tembok besar Kerajaan dengan dentuman menggetarkan bumi.
Penunggang naga yang duduk di punggungnya terjepit di antara tubuh naga dan tembok, terjatuh bersimbah darah. Sang naga terkapar, mengeluarkan darah hitam pekat yang merembes ke tanah, bercampur dengan debu dan pasir dari reruntuhan.
Di sisi lain, Azra mulai sadar. Matanya perlahan terbuka, dan ia terbangun di sebuah toko susu yang tampak asing. Rasa lemas masih membelenggu tubuhnya, namun pandangannya segera tertuju pada sosok besar di hadapannya. Seorang ksatria berperawakan tinggi dengan armor yang gagah, sedang duduk menunggunya sambil menyodorkan segelas minuman.
Azra terdiam. Sosok itu tampak familier, seperti orang yang mengejarnya sebelumnya. “Aender, itu namaku,” ucap ksatria tersebut, suaranya berat dan tegas.
Azra tertegun. Sosok besar itu menatapnya dengan ekspresi datar, namun ada sedikit rasa penasaran di matanya. “Aku tidak menyangka kau seorang gadis. Awalnya, aku kira benang putih yang terlihat itu hanyalah bulu singa hiasan baju zirahmu. Tapi ternyata, itu adalah rambutmu,” kata Aender dengan suara yang bergema.
Azra tersentak, wajahnya memerah malu. "Bagaimana... kau tahu?" tanyanya gugup. Baru saat itu ia sadar bahwa topeng robotnya sudah tak lagi menutupi wajah. NEO, android yang ada di dalam zirahnya, terpaksa membuka topeng itu saat ia pingsan, memastikan udara segar masuk ke dalam armor yang sesak.
"HAHAHA!" Tawa keras Aender memenuhi ruangan. "Ternyata, baju zirahmu bisa bicara!"
Azra hanya bisa tersenyum kecut, berusaha menenangkan diri. Rasa haus tiba-tiba menghantamnya, dan ia memandang gelas di tangannya. “Apakah aku boleh meminumnya?” tanyanya dengan ragu.
Aender mengangguk, senyumnya masih tergantung di bibirnya. “Tentu saja, nona aneh. Minumlah, kau pasti kelelahan setelah menyelamatkan penduduk dari lonceng Bismuth yang besar itu.”
Azra meneguk minuman yang diberikan dengan cepat, rasa segar menyejukkan tenggorokannya. Di sela-sela minum, Aender melanjutkan dengan nada serius, “Kau tidak berasal dari Kerajaan Bismuth, kan? Setelah serangan naga ini selesai, kau harus pergi dari sini. Kau masuk tanpa izin dan membuat penduduk curiga. Mereka takut dengan kehadiranmu.”
Azra menghentikan minumnya sejenak, meletakkan gelasnya, lalu menatap Aender dengan tatapan tajam. “Aku orang pertama yang melawan naga itu,” ujarnya tegas. “Aku bertemu dengannya di hutan saat sedang memancing. Naga itu menyerangku tanpa peringatan. Aku terlempar jauh terkena tebasan ekornya, melayang hingga mendarat di bar kerajaan ini. Akulah yang tak sengaja membawanya ke sini. Aku yang harus bertanggung jawab. Sebelum naga itu mati, aku tidak akan pergi dari kerajaan ini! Aku akan membunuhnya!”
Aender menatap Azra dengan sorot mata keras. “Kalau begitu, apa boleh buat. Kau seharusnya dihukum berat karena memancing naga buas ke wilayah ini. Namun, jika kau berhasil menumbangkannya, aku akan membebaskanmu.”
Kata-kata Aender terngiang-ngiang di kepala Azra, tapi dengan nada tegas ia menjawab, “Baik, kalau begitu kita butuh rencana. NEO,” “Apa kau punya saran?”
NEO menjawab dengan suara mekanisnya, “Aku memiliki senjata meriam yang bisa membakar tubuh naga itu dengan api Pivornum, api yang dapat membakar bahkan api merah biasa.”
Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, suara terompet terdengar dari kejauhan. Aender segera bangkit, wajahnya berubah serius. “Itu sinyal peringatan!” Seraya berbicara, ia melangkah cepat keluar dari toko, memerintahkan pasukannya untuk membentuk barikade di depan istana.
Azra, yang masih duduk di dalam toko, bergegas menyusul. “Aku akan ikut,” katanya bersemangat. “Aku akan mencoba menembak naga itu dari belakang barikade kalian.”
Aender menghentikan langkahnya, memikirkan ucapan Azra. “Tidak, barikade hanya akan membuat naga berhenti dan mencari tempat lain untuk dihancurkan. Kita harus memancingnya masuk ke istana,” ujarnya sambil menunjuk arah jalanan sempit di kota. “Saat kepalanya muncul dari balik bangunan, kita tembak dari samping, tepat di tempat terbuka di depan istana. Di sana kita akan membuatnya terpojok.”
Azra mendengarkan dengan seksama. Ia tahu ini bukan tugas yang mudah, tapi tekadnya sudah bulat. Naga itu akan jatuh, dan ia akan menjadi orang yang menamatkan riwayatnya.
Debu beterbangan, menyelimuti medan pertempuran di depan gerbang kerajaan dengan kabut abu-abu yang pekat. Saat debu mulai mereda, pasukan Albert maju dengan hati-hati, mendekati tubuh sang naga yang tergeletak tak berdaya.
"Pastikan dia mati!" teriak salah seorang prajurit.
Beberapa prajurit mulai menaiki tubuh naga yang menjulang tinggi, mencari penunggang yang sempat hilang di antara puing-puing. Namun, sebelum mereka sempat menyadari bahaya, sebuah kilatan petir tiba-tiba muncul dari balik sayap sang naga. Cahaya petir menembus badan Seorang prajurit naga yang ternyata masih hidup dan telah bersiap menyerang.
Pertarungan pun pecah. Penunggang naga dengan gesit melawan prajurit-prajurit Albert, bergerak dengan cepat di antara mereka dengan pedang petirnya menyambar-nyambar, menembus baju besi para prajurit dan menyetrum mereka, memaksa mereka mundur. Dalam kekacauan itu, tanpa diduga, sang naga yang mereka kira sudah mati, bangkit kembali. Dengan sisa tenaganya, ia mengamuk, ekornya yang panjang dan kuat menghantam prajurit-prajurit di sekitarnya, meremukkan mereka seperti ranting kering.
Penunggang naga dengan cepat kembali ke punggung sang naga. Mata tajamnya menyapu medan perang. Dia tahu bahwa menghancurkan Kerajaan sepenuhnya mungkin mustahil, namun ada satu hal yang masih bisa dilakukannya. Dengan niat bulat, dia mengarahkan naganya menuju sasaran utama: Raja Bismuth, pemimpin Kerajaan yang memegang kendali penuh atas kesejahteraan rakyatnya.
Albert yang melihat keadaan pasukannya yang kacau balau segera bereaksi. "Serang naga dengan tombak!" perintahnya.
Pasukan yang tersisa serempak mengangkat tombak-tombak besar mereka, menodongkannya ke arah sang naga yang mulai melompat tinggi di udara. Namun, sebelum mereka sempat melakukan serangan, tetesan cairan merah gelap jatuh di atas kepala Albert. Dengan reflek cepat, ia melirik ke atas. Sang naga melompat jauh melampaui para prajurit, menuju arah yang tak terduga. Boom! suara keras menghentak saat kaki sang naga menghantam tanah, menciptakan gemuruh yang memekakkan telinga.
Naga itu berlari, darah menetes deras dari perutnya, meninggalkan jejak berwarna merah tua di sepanjang jalan. Albert tak tinggal diam. Ia segera memerintahkan pasukan berkudanya untuk mengejar. Dia tahu, meski naga itu kuat, luka-lukanya akan segera membuatnya tumbang.
Di tengah pengejaran, gerakan sang naga mulai melambat. Sakit dan kelelahan membuat hewan raksasa itu tersendat. Ketika ia merasa cukup jauh dari medan pertempuran, sang naga berhenti sejenak, menarik napas panjang, mencoba memulihkan sedikit kekuatannya. Namun, di saat yang sama, Albert dan pasukan berkudanya sudah mendekat, memanfaatkan jalan-jalan sempit di kota untuk mendahului dan memblokir pergerakan naga.
Albert melihat peluang emas. "Bunyikan terompet! Beri sinyal kepada menara pertahanan!" perintahnya kepada para prajurit.
Di sekeliling kota, menara-menara mulai aktif. Pasukan menyiapkan panah besar dan meriam, bersiap melancarkan serangan terakhir. Sang naga, yang kini terperangkap dalam rencana, bersiap untuk melawan.
Meriam diluncurkan, mengarah tepat pada tubuh naga yang melangkah pelan namun kuat. Dentuman keras menggema di udara ketika tembakan menghantam tubuh raksasa itu. Namun, dengan gesit, naga menutupi punggungnya menggunakan sayap kanan yang tersisa, melindungi dirinya dari serangan mematikan itu. Meski meriam tak mampu menembus pertahanannya, serangan berikutnya datang dengan cepat. Sebuah busur besar, dilengkapi panah khusus, melesat menembus angin. Panah itu menghantam sayap naga, menancap dalam, membuat makhluk buas itu mengeluarkan raungan kesakitan. Meskipun terluka, sang naga tetap bergerak maju, mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengantar sang penunggang ke tujuan—istana kerajaan yang berdiri megah di depan lapangan luas, tak jauh dari pemukiman penduduk.
Duar! Sebuah ledakan tiba-tiba menggelegar di udara.
Serangan bola api biru menghantam kepala naga dengan kekuatan dahsyat. Naga perkasa itu roboh ke tanah, tubuhnya yang besar terhempas keras ke permukaan, menggetarkan bumi di sekitarnya. Penunggang naga yang berada di punggungnya tampak terkejut, matanya membelalak melihat naga tempur yang ia andalkan tewas dalam sekejap, terbakar oleh tembakan yang datang entah dari mana.
Melihat naga raksasa itu tumbang, Albert segera meniup terompet untuk menghentikan serangan dari menara-menara pertahanan. "Serbu!" teriak Aender, memimpin pasukannya untuk menyerang tubuh naga yang telah terbaring tak berdaya dan mengepung sang penunggang. Namun, meski naganya telah mati, penunggang naga itu masih berdiri tegak, tangannya menggenggam erat botol kecil yang berkilauan. Dengan cepat, ia menenggak cairan ajaib di dalamnya hingga habis. Tubuhnya bergetar, energi dahsyat mulai memancar darinya, membuat tangannya bersinar terang.
Seketika, gelombang petir besar meledak dari tubuh penunggang naga itu, menyebar ke segala arah. Pasukan Aender tersungkur, terlempar oleh kekuatan listrik yang luar biasa. Hanya Aender yang dapat bertahan, ia berlutut, menahan gelombang listrik yang menggelegar dengan menancapkan pedangnya ke tanah. Tubuhnya bergetar hebat, namun dia tetap bertahan, menjadi satu-satunya yang mampu melawan dorongan kekuatan dahsyat itu.
Di kejauhan, Albert yang melihat rekannya terancam segera menarik busurnya dan melesatkan panah ke arah penunggang naga. Tapi, dengan cekatan, penunggang itu menangkap panah di udara. Kilatan petir mengalir dari tangannya ke panah tersebut, dan dengan satu gerakan cepat, ia melempar balik panah itu ke arah Albert. Albert mencoba menghindar, tapi terlambat—panah listrik itu menghantam kudanya, membuat binatang itu jatuh terkapar.
Sang penunggang naga mengumpulkan energi terakhirnya. Matanya menyala penuh kebencian saat ia menciptakan sabit petir yang berkilauan di tangannya.
Pertarungan satu lawan satu pun dimulai. Tebasan petir menyambar ke kiri dan kanan, menyerang Aender dengan kecepatan kilat. Meski begitu, Aender dengan sigap menghindar, bergerak lincah di antara serangan yang menghujam udara di sekitarnya. Dia lalu membalas dengan ayunan pedangnya yang besar, namun senjatanya terlalu lambat.
Senyum sinis terbentuk di wajah sang penunggang naga. Dengan mudah, ia menghindari serangan balasan itu dan bersiap melemparkan sabit petirnya, siap menghabisi Aender. Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh—
Crakk!!
Suara dentuman tajam terdengar. Pedang menembus punggung sang penunggang naga, menusuk hingga ke dadanya. Wajahnya berubah, matanya melebar penuh kejutan. Diam-diam, Azra telah mendekat dari belakang dan melancarkan serangan mematikan.
Penunggang naga itu menggertakkan giginya, mencoba menahan rasa sakit luar biasa yang mengoyak tubuhnya. Namun, Aender tidak membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja. Dengan cepat, dia mengayunkan pedangnya sekali lagi, berusaha menebas penunggang naga dari depan. Namun sang penunggang, meski terluka parah, masih mampu menahan serangan tersebut. Sabit petir di tangan kanannya beradu dengan pedang besar Aender, sementara tangan kirinya yang bersarung besi mencengkeram pedang Azra, menahan tusukan yang sudah mengiris jauh ke dalam tubuhnya.
Kedua prajurit bertarung mati-matian, namun jelas terlihat bahwa sang penunggang semakin lemah. Nafasnya memburu, tubuhnya bergetar tak terkendali. Dia sadar tidak akan bertahan lebih lama. Tak ada pilihan lain. Dalam satu gerakan putus asa, ia memecahkan sabit petirnya.
Boom!!
Ledakan gelombang listrik yang mengerikan meledak dari tubuhnya, memantulkan Aender dan Azra jauh dari atas tubuh naga yang telah mati. Keduanya terhempas keras ke tanah, tubuh mereka menghantam permukaan bumi dengan kekuatan besar. Udara di sekitar mereka terasa panas, menyengat dengan sisa-sisa energi petir yang menggetarkan.
Pertarungan belum usai, tapi waktu bagi sang penunggang naga hampir habis. Tanpa membuang waktu, sang penunggang naga bersiap mengakhiri pertarungannya dengan Aender. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, membentuk tombak petir yang luar biasa dahsyat. Kilatan cahaya melingkari tubuhnya, memancar hingga ke langit, menciptakan suasana mencekam di sekitar medan pertempuran.
Dari kejauhan, Azra bangkit perlahan. Tubuhnya bergetar, diselimuti rasa lelah dan nyeri dari luka-luka yang menganga. Darah mulai mengalir dari sisi tubuhnya, namun ia tetap berdiri, meski kakinya terasa berat. Saat pandangannya kembali jernih, Azra mulai menyadari sesuatu.
"NEO," gumamnya dengan suara serak, "pedang ini tidak cukup kuat untuk membunuh penunggang naga itu. Dia terlalu kuat. Membelah dagingnya saja tidak cukup. Dia bisa beregenerasi dengan sangat cepat."
Dari dalam armor, suara NEO terdengar, "Nona Azra, pedang ini seharusnya dipenuhi dengan listrik dan api biru yang sangat panas. Namun, aku sudah kehabisan energi untuk mengaktifkan Pivornum."
Azra terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Napasnya terdengar berat saat ia menarik udara dalam-dalam. "Makhluk terkutuk! Hanya itu kemampuanmu?!" Azra berteriak lantang, meledek sang penunggang naga dari kejauhan, mencoba memancing amarahnya.
Duarr!
Tombak petir menghantam tubuh Azra dengan kekuatan luar biasa. Ledakan itu begitu kuat, membuat tubuhnya terpental jauh dari tempat pertempuran. Azra terhempas ke udara, terlempar seperti boneka kain.
Saat dia menghantam tanah, ledakan petir tersebut meninggalkan debu dan kabut yang tebal, tercipta dari batuan-batuan yang hancur akibat sambarannya. Azra terbaring di antara puing-puing, napasnya tersengal-sengal, tapi matanya masih bersinar penuh tekad. Pertarungan belum selesai, dan ia belum menyerah.
Sementara itu, penunggang naga menatap dari kejauhan, matanya dipenuhi kilatan kebencian. Namun, perlawanan Azra yang tak terduga ini memberinya sejenak keraguan—momen yang mungkin akan menjadi penentuan bagi mereka semua.
Contact :
Azimamoyo@gmail.com
© 2024. All rights reserved.