Check our store

UNITED STRENGTH

Chapter 6

Cahaya pernak pernik di permukaan samudera yang tenang, menciptakan kilauan keemasan di setiap riak ombak. Langit cerah membentang luas tanpa awan, menyaksikan pemandangan di bawahnya. Sekejap ketenangan itu terpecah oleh deru keras mesin kapal tempur Amerika yang menerobos permukaan air dengan kecepatan tinggi. Kapal itu bergerak seperti panah, membelah ombak tanpa henti. Bip! Bip! Suara klakson kapal terdengar nyaring, menggema, seakan ingin mengabarkan kedatangannya pada dunia yang seolah tertidur di atas hamparan lautan.

Di dalam ruang pusat komando yang megah dan penuh dengan aktivitas tentara, Laksamana Menhilt berdiri tegak. Tatapan wajahnya tajam dan terasa dingin seperti menunjukan seorang pemimpin yang telah melewati banyak badai. Suasana yang ramai berubah menjadi sepi dalam sekejap.

“Laksamana,” suara kapten kapal terdengar dari belakangnya. Laksamana Menhilt menoleh sedikit, mendengarkan dengan seksama. “Berdasarkan perhitungan jarak dan waktu mesin navigasi, kita akan tiba di pulau Oracle esok hari, tepat pukul 02.00 pagi. Saat itu, matahari masih belum terbit dan menyinari dataran.”

Laksamana Menhilt mengangguk pelan, wajahnya tetap tak menunjukkan emosi. Kapten melanjutkan, “Kita harus menggunakan helikopter untuk pengecekan medan tempur. Daerah itu sangat gelap, penuh pohon-pohon besar yang bisa menghalangi pandangan. Helikopter akan sangat membantu untuk penerangan dan pengamatan dari udara.”

Laksamana Menhilt menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Baik kapten, rencana sudah tersusun : Saat kita mencapai pulau Oracle, luncurkan dua unit helikopter. Satu untuk pengecekan, satu lagi untuk pertahanan. Aku sendiri akan naik ke salah satu helikopter dan turun langsung ke darat. Aku akan mengatasi masalah utama langsung di bawah sana dengan pasukan Ghost Hand.”

Kapten mengangguk penuh penghormatan, memahami bahwa Laksamana tidak hanya memberikan perintah, tapi juga mengambil risiko. Laksamana Menhilt melanjutkan, suaranya lebih rendah, namun penuh ketegasan, “Kapal tempur akan tetap di laut, memantau dari kejauhan. Terlalu berbahaya jika mendekat ke pelabuhan. Jika kita terlalu dekat, senjata otomatis kita akan menjadi tidak berguna, makhluk itu akan menerobos masuk dan dengan sangat mudah menyerang kita.”

“Makhluk itu akan menghabisi kita semua jika kita melakukan kesalahan sedikit saja, Kita harus pintar, dan cepat.” Kapten terdiam sesaat, memahami ancaman yang disebut Laksamana.

"Siap, Laksamana!" jawab kapten dengan suara lantang, tanpa rasa takut di wajahnya.

Kapal tempur terus melaju dengan kecepatan penuh, di tengah samudera yang menjadi saksi bisu keberadaan mereka. Dari kejauhan sesuatu yang besar sedang menanti mereka.

Dari kejauhan, Aender menyipitkan matanya, menatap sosok prajurit yang hanya terdiam di tengah keramaian. Di saat kekacauan sedang melanda dan evakuasi berlangsung, pemandangan itu terasa janggal. “Hey! Apa yang kau lakukan di sana, prajurit?” seru Aender lantang, suaranya bergema di antara suara orang-orang yang panik.

“Kau seharusnya membantu penduduk, bukan terdiam seperti orang bodoh!” Suaranya tajam, penuh amarah. Aender, yang dikenal tak suka melihat kemalasan, semakin mendidih emosinya ketika sang prajurit tetap tak bergeming.

Tanpa pikir panjang, ia berjalan cepat mendekati sosok itu, langkah-langkahnya tegas menghantam tanah yang berdebu.

NEO berkata untuk menyadarkan Azra, “Nona, sepertinya dia berbicara kepadamu.”

Azra terkejut. “Apa?! Dia berbicara padaku? Tapi aku…aku..” gumam Azra yang mulai merasa panik dan malu. Penduduk sekitar yang sedang bergegas evakuasi perlahan mulai meliriknya dan mencurigainya.

Azra pun menatap pakaian besinya yang mulai terasa tidak familiar di mata penduduk kerajaan. “Aku bukan prajurit kerajaan ini… Ya ampun, NEO! Apa yang harus kita lakukan?” gumamnya di dalam baju besi.

NEO, dengan suara yang tenang namun penuh peringatan, memberikan nasihat, “Sebaiknya kita mengikuti perintahnya, Nona. Dia terlihat marah. Jika kita memberi tahu identitas asli kita, dia mungkin akan mengusir kita dari kerajaan ini—dan kau tahu, di luar sana ada naga pembunuh yang berkeliaran.”

Azra menggigit bibirnya, bingung. Tapi NEO benar. Tidak ada pilihan lain. Mereka tak bisa membiarkan rahasia mereka terbongkar di tengah-tengah kekacauan ini.

“Apa yang kau lakukan di sana?!” teriak Aender dari kejauhan, langkahnya makin cepat, tatapannya semakin tajam, tak lagi sekadar ingin menegur, melainkan menuntut penjelasan. Azra merasakan detak jantungnya meningkat. Ketika Aender mendekat, matanya menyipit, memeriksa dari kepala hingga kaki. “Aku tidak pernah melihat baju besi seperti itu, tampak seperti wanita.”

Azra merasakan dinginnya ketakutan merayapi punggungnya. “Gawat, NEO! Dia mulai curiga!” bisiknya, suaranya penuh kecemasan. NEO hanya bisa mengangguk tegang.

Tanpa berpikir panjang, Azra melakukan hal yang pertama kali terlintas di benaknya. Ia berpura-pura bisu. “Hmm! Hmm!” gumamnya keras, sambil menunjuk ke arah belakang Aender.

Ia mengangkat kedua telapak tangannya ke atas kepala, berpura-pura seolah ada sesuatu yang menyerang mereka dari belakang. Gesturnya kacau, tapi penuh kepanikan yang meyakinkan.

Aender jengkel. “Apa-apaan ini!? Kau bodoh, atau kau memang bisu!?” serunya kesal, tak memahami maksud prajurit di depannya. Ia melirik ke belakang, ingin memastikan apakah ada sesuatu yang benar-benar datang. Namun yang ia lihat hanyalah langit kosong. “Hah? Tidak ada apa-apa… Dasar, kau—”

“Hah!!!, prajurit itu kemana dia pergi?!”, ucap Aender. Azra pun sudah hilang seperti ditelan bayangan. Aender terkejut, emosinya kian meluap. Dia menoleh ke segala arah, mencari-cari sosok misterius itu, tapi yang ia temukan hanyalah kekosongan dan keramaian orang-orang yang sibuk dengan evakuasi.

Aender mengepalkan tinjunya, otot-ototnya menegang. Dia tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menyeruak di hatinya, firasat bahwa sesuatu yang mengerikan sedang terjadi.

"Jangan-jangan... dia penyusup dari dunia luar," bisiknya kepada dirinya sendiri, penuh kecurigaan. Ingatannya langsung melayang pada iblis yang baru-baru ini muncul dan meneror Kerajaan Bismuth.

"Iblis itu… pasti dia yang membawanya ke sini! dia yang ingin menghancurkan kerajaan ini!" Tatapan Aender semakin tajam, tekadnya membara seperti api, Ia harus menemukan prajurit misterius itu sebelum bencana lebih besar terjadi.

Di tengah-tengah jalan pemukiman, Azra dan NEO sudah berlari cukup jauh ke arah. Namun Aender dengan cepat berlari dan mengejar prajurit misterius itu sesuai instingnya.

“Huh… Huh… NEO aku tidak kuat, kau sangat berat saat bergabung dengan ku dan menjadi armor pelindung ku, kita harus berpisah..” Azra terengah-engah dan kelelahan saat berlari dari Aender.

Aender berlari menyusuri kerumunan penduduk yang panik, matanya terus mencari sosok prajurit misterius yang selama ini dicarinya. Di tengah kepanikan orang-orang yang berusaha mencapai Kerajaan, sebuah kilatan rambut putih yang mencolok terlihat di kejauhan. Itu dia! Tanpa ragu, Aender segera memerintahkan pasukannya, “Tangkap prajurit berambut putih itu!”

Azra, yang berlari melawan arus kerumunan, mendengar teriakan keras di belakangnya. Ia menoleh dan terkejut melihat Aender—pemimpin prajurit yang mengejarnya—sudah menemukan dirinya. "Tidak mungkin! Dia bisa menemukan kita!" pikirnya, panik. Semua usahanya untuk mengecoh mereka tampaknya sia-sia. Azra kini seorang buronan.

Azra kembali berlari sekuat tenaga, tapi tiba-tiba bayangan besar menutupi jalannya. Dia melirik ke atas, dan jantungnya seolah berhenti. Lonceng Kerajaan—seukuran kapal nelayan—melayang di langit, siap jatuh tepat di tengah kerumunan penduduk yang sedang berdesakan.

Dengan tubuh lelah dan gemetar, Azra berhenti. Dia tak bisa membiarkan ini terjadi. Ratusan orang akan tewas jika lonceng itu jatuh menimpa mereka semua. Dalam detik-detik genting, Azra mengatur napasnya dan berpikir cepat. Dia harus menghentikan lonceng itu, tak peduli seberapa letih tubuhnya.

Dari dalam armor Azra Kilatan listrik menyambar batu Pivornum, memicu energi kosmik yang mengalir deras ke armor Azra. Dalam hiruk-pikuk yang mencekam, dia menutup matanya sejenak, mencoba memperlambat waktu. “NEO,” ucapnya cepat, “aku butuh sesuatu yang bisa menetralkan gravitasi. Kita harus membuat lonceng itu membeku, dengan memperlambat lajunya di udara.”

Tanpa ragu, NEO merespons dengan membuat besi-besi mekanis di tangannya bergerak dengan lincah, membentuk sebuah senapan besar yang memancarkan sinar biru. Suara berdengung memenuhi udara ketika NEO mempersiapkan jangkar jaring khusus—senjata elektromagnetik yang bersinar terang, siap menghentikan lonceng raksasa itu.

“Waktunya untuk memperbaiki sejarah terbang ku NEO,” kata Azra sambil mempersiapkan diri.

Azra mengarahkan senapan jangkar dengan tangan yang sedikit gemetar, berusaha fokus pada lonceng raksasa yang melayang rendah di atas kerumunan penduduk. Satu tarikan napas, lalu—duar!—tembakannya tepat sasaran. Jangkar melesat dengan kecepatan tinggi, menancap di lonceng besar yang mengancam di atas sana. Kilatan energi segera menjalar, membentuk jaring elektromagnetik yang membungkus lonceng dan memperlambat laju lonceng.

"Berhasil!" pikirnya, namun perasaan lega itu tidak bertahan lama. Meskipun gerakannya melambat, lonceng masih mengarah ke kerumunan penduduk yang panik, tak henti berlarian untuk menyelamatkan diri.

Tanpa berpikir panjang, Azra melanjutkan rencana dengan mengerahkan seluruh energinya. Cahaya menyala dari ledakan di kakinya, membuatnya melesat mendekati lonceng dari depan. Dengan kedua tangannya, ia mencoba menahan dan mendorong lonceng raksasa itu, tapi mendadak berat lonceng bertambah. Ia merasa tubuhnya bergetar hebat, dan lonceng mulai jatuh lurus ke bawah. Azra kehabisan rencana, melihat ke bawah, tepat ke kerumunan penduduk yang masih berada di bawah lonceng.

Dengan cepat, Azra meluncur ke bawah lonceng yang semakin mendekati tanah, mencoba menahannya dengan tubuhnya sendiri, mengerahkan setiap ons kekuatan untuk memperlambat kejatuhannya. Aender dan pasukannya, yang menyaksikan aksi prajurit misterius ini, segera bertindak.

"Pasukan!" teriak Aender, suaranya tegas dan lantang, "Arahkan penduduk ke jalur lain yang aman! Kita harus membantu mendaratkan lonceng ini dengan selamat!"

Pasukan bergerak sigap, membentuk barikade dan mengarahkan penduduk yang panik ke jalur evakuasi baru. Namun, di tengah kekacauan itu, seorang anak kecil terjatuh, tepat di bawah bayangan lonceng yang semakin mendekat. Azra, yang sudah hampir kehabisan tenaga, melihat anak itu terbaring tak berdaya di bawah tempat jatuhnya lonceng. Napasnya terhenti.

Aender, tanpa ragu, berlari menerobos kerumunan. Ia menggendong anak kecil itu dan segera melarikan diri dari zona berbahaya, hanya beberapa detik sebelum lonceng menghantam tanah.

Azra, yang telah mengerahkan semua kekuatannya, merasakan tubuhnya hampir tak bisa bertahan lagi. Saat lonceng besar itu mendekat, ia tak bisa melesat pergi. Dengan napas tersengal-sengal dan kaki yang gemetar, ia menahan lonceng yang jatuh, lututnya tertekuk, hampir tak mampu menopang beban besar di atasnya. Lonceng itu menghantam tanah dengan keras, tapi Azra berhasil menahannya, walau hanya dengan sisa-sisa kekuatan terakhirnya.

Teriakan terdengar dari segala arah. Penduduk dan pasukan prajurit menyadari pengorbanan besar prajurit misterius ini. "Ayo! Kita harus menolongnya!" seru salah seorang prajurit. Ratusan orang, penduduk dan prajurit, bersatu. Mereka mengerumuni Azra yang kini berlutut dengan satu kaki, mencoba menahan beban yang hampir mustahil.

Ratusan tangan terulur, mencengkram lonceng besar itu, mengeluarkan setiap tenaga yang mereka miliki untuk mengangkatnya dari tubuh Azra. Mereka semua berharap, dengan setiap tarikan dan dorongan, bisa menyelamatkan prajurit misterius itu.

Aender, dengan keberanian yang tak surut, kembali berlari. Dengan usaha terakhirnya, ia masuk ke bawah lonceng, meraih tubuh Azra yang sudah tak sadarkan diri. Dengan sekuat tenaga, ia menariknya keluar dari bawah bayangan maut itu.

Azra berhasil diselamatkan, meskipun tubuhnya tak lagi bergerak alias pingsan, Azra tetap hidup. Di tengah kelegaan yang menyelimuti semua orang, satu hal jelas—prajurit misterius itu telah menjadi pahlawan, bukan hanya bagi penduduk, tapi juga bagi mereka yang menyaksikan keberaniannya.

Roar!

Suara auman naga menggelegar dari kejauhan, memecah langit di atas kerajaan. Pasukan Albert yang berjaga di barikade terpaku. Napas mereka terhenti sejenak, mata mereka menyipit menatap sosok besar yang mendekat. Auman itu bukan sekadar suara—itu adalah ancaman kematian yang nyata.

Dari atas punggung naga, penunggang naga itu tersenyum penuh ejekan. Matanya menyapu barisan pasukan di bawahnya, seolah mereka tak lebih dari sekumpulan semut tak berdaya. Ia mengangkat tangannya dengan penuh percaya diri, suara tawanya menggema di udara. "Kalian semua akan mati!" teriaknya, suaranya menggema bersama hempasan angin.

Naga membuka mulutnya lebar-lebar. menyemburkan api langsung ke arah barikade prajurit. Gelombang panas menerpa mereka dengan kekuatan dahsyat, nyala api berkobar mengancam melahap seluruh pasukan dalam sekejap.

Contact :

Azimamoyo@gmail.com

© 2024. All rights reserved.