Check our store

ANCIENT BATTLE

Chapter 5

Siang itu, langit di atas Kerajaan Bismuth mulai menjadi gelap, diselimuti oleh awan hitam yang seakan mengundang malapetaka. Asap tebal masih memenuhi jembatan di luar gerbang, sementara api bekas semburan naga berkobar-kobar dengan liar.

Para prajurit Bismuth, yang telah menyaksikan kematian pedih para pedagang dan penduduk, berdiri gemetar di atas tembok kota. Mata mereka basah, penuh kesedihan dan keputusasaan. Mereka tahu, dalam sekejap, orang-orang yang mereka cintai telah hangus sia-sia oleh kemarahan seekor naga. Kehidupan yang mereka perjuangkan dengan darah dan keringat, hancur dalam satu tarikan napas makhluk legendaris itu.

"Gerbang! Tutup gerbang!" seru komandan tembok dengan suara parau. Para prajurit buru-buru menarik rantai besar yang menggerakkan gerbang megah kerajaan. Dentang besi menggema, suara berat dan menyakitkan, namun penuh harapan. Gerbang itu adalah pertahanan terakhir mereka. Jika naga berhasil masuk, tak ada yang bisa menghentikan kehancuran. Mereka semua akan binasa, bersama setiap bangunan dan mimpi yang telah mereka bangun dengan penuh pengorbanan.

Dari kejauhan, di tengah asap dan bayangan, muncul sosok penunggang naga. Jubah hitamnya berkibar tertiup angin, dan matanya menatap gerbang kerajaan dengan sorot dingin dan penuh kemenangan. Naga hitam besar bernafas di sampingnya, siap menerkam kapan saja. Penunggang itu tahu, gerbang yang menutup jalan mereka hanya sementara. Sebuah senyum sinis menghiasi wajahnya.

Dengan gerakan tenang, ia mengeluarkan sesuatu dari tas kulit kecil di pinggangnya—sebuah botol kecil berisi cairan berwarna keemasan, memancarkan cahaya samar. Ia membuka tutupnya dan meneteskan beberapa tetes cairan itu ke dalam mulutnya.

Seketika, ada yang berubah. Tubuhnya bergetar, urat-urat di tangannya menyala merah, seperti lava yang mengalir di bawah kulit. Aura mistis berwarna keunguan mulai melingkari tubuhnya, menyelimuti udara di sekitarnya.

Dengan tangan yang kini menyala, ia bergerak. Gerakannya seperti tarian mematikan, jari-jarinya melingkar dan berputar, menarik energi dari udara. Dari ujung jemarinya, percikan listrik mulai muncul, mengalir perlahan di sepanjang lengan. Semakin lama, kilatan petir itu tumbuh semakin besar, berputar mengelilingi tubuhnya, seperti ular raksasa yang sedang bersiap untuk menerkam mangsanya.

Tatapan matanya tak pernah lepas dari gerbang. Ia angkat tangan kirinya, menggambar sebuah lingkaran cahaya di udara, membentuk sebuah bidikan sempurna. Tangan kanannya, kini memegang petir yang telah berubah menjadi tombak besar, penuh dengan energi yang bergetar dan mendesis. Ia mengangkat tombak petir itu tinggi-tinggi, siap dilemparkan dengan kekuatan yang tak terbayangkan.

"Cetar!" Tiba-tiba, petir itu meluncur cepat, seperti anak panah yang dilepaskan dari busur. Kecepatannya begitu luar biasa, hingga para prajurit di tembok tak sempat bereaksi. Mereka hanya bisa mendengar dentuman keras saat petir menghantam gerbang megah Kerajaan Bismuth. Ledakannya menggelegar, begitu keras hingga membuat telinga mereka berdengung dan kesadaran mereka terombang-ambing. Ketika mereka kembali melihat, gerbang itu sudah berlubang besar, penyangga besinya meleleh, tak mampu lagi menjaga pintu tetap tertutup. Gerbang itu kini terbuka, menyerah pada kekuatan yang baru saja menghantamnya.

Penunggang naga itu tersenyum lebar dan tertawa, kepuasan tergambar jelas di wajahnya. "Matilah kalian semua, manusia!" teriaknya dengan nada penuh kebencian. "Naga, majulah! Hancurkan semua yang ada di jalanmu!"

Suara auman naga menggema, mengguncang tanah dan tembok kerajaan. "ROAR!!!" teriakan itu penuh dengan amarah dan kekuatan purba, menggetarkan setiap hati yang mendengarnya. Dari jembatan yang menjulang jauh di luar gerbang, naga itu bersiap. Sayap besarnya mengepak, menyebabkan tanah di bawahnya retak, dan batu-batu di sekitar terlempar ke udara. Tanah seakan tak mampu menahan berat dan kekuatan makhluk itu.

Dengan satu gerakan cepat, naga hitam itu mulai melaju. Kakinya yang kuat berlari menuju gerbang yang kini terbuka lebar, siap menerobos masuk ke dalam Kerajaan Bismuth dan mengubah segalanya menjadi abu. Setiap langkahnya membawa kehancuran, dan dalam kegelapan malam, cahaya petir masih menyala di langit, mengiringi datangnya malapetaka yang tak terhindarkan.

Di balik tembok, prajurit-prajurit Bismuth hanya bisa menatap ngeri, tak lagi mampu menahan derap langkah yang membawa kematian. Siang itu, kerajaan mereka akan menghadapi ancaman terbesarnya—sebuah pertempuran melawan naga, dan mungkin, melawan takdir yang tak bisa diubah.

Tong, Tong, Tong! Suara lonceng besar menggelegar, menggema di seluruh penjuru kerajaan. Ketua prajurit penjaga tembok memukulnya dengan keras, wajahnya tegang penuh kekhawatiran. “Iblis besar datang! Semua pasukan meriam, bersiap!” teriaknya lantang, membuat suasana yang sebelumnya tenang berubah menjadi kacau balau.

Dari atas menara istana yang megah, Raja Steir, penguasa Kerajaan Bismuth, mendengar bunyi lonceng itu dengan jelas. Berita tentang kemunculan iblis yang mengamuk di depan gerbang istana membuatnya terkejut. “Iblis itu… ternyata benar adanya,” ucap Steir dengan suara berat. Ia sudah lama mendengar bisikan-bisikan dan ramalan tentang makhluk mengerikan itu, tapi tak pernah menyangka kemunculannya akan secepat ini.

Di luar sana, naga raksasa—sosok yang hanya dikisahkan dalam legenda—menyemburkan api dengan liar, menghancurkan apa saja yang ada di depannya. Dinding-dinding jembatan terbakar hancur, menjadi abu dalam hitungan detik, sementara para penduduk yang tak beruntung terpanggang hidup-hidup oleh semburan api. Naga itu terus bergerak, tubuh besarnya berderap di atas jembatan, menghancurkan setiap batu dan bangunan yang dilaluinya.

Namun, langkah kaki naga itu tiba-tiba berhenti ketika bola-bola meriam melesat dari menara, ia mencoba menutupi sang penunggang, sehingga meledak di bagian depan tubuhnya. Ledakan besar mengguncang udara, menimbulkan gumpalan asap hitam yang tebal. Sejenak, harapan muncul di hati para prajurit bahwa naga telah tumbang, namun dari balik kepulan asap, siluet naga itu masih tampak bergerak. Tergores, terluka, tetapi belum kalah. Matanya bersinar merah menyala, penuh dengan amarah yang tak terukur.

Steir tidak tinggal diam. Dengan tegas, ia memerintahkan Albert, komandan pasukan ksatria elit, untuk mengerahkan pasukan penunggang kuda yang terkenal karena kecepatan dan ketangkasan mereka di medan pertempuran. “Albert, cepat bergerak! Kalian harus mencapai gerbang sebelum naga itu berhasil mendobrak masuk!” perintah Steir dengan nada penuh urgensi.

Sementara itu, Steir memanggil Aender, pemimpin evakuasi, dan memberinya tugas yang tak kalah penting. “Aender, arahkan seluruh penduduk ke ruang bawah tanah istana. Lindungi mereka dari serangan!” ucap Steir tegas, pandangannya tajam, penuh keyakinan.

Di sisi lain, di depan gerbang, ketua prajurit tak memberi naga itu kesempatan untuk bernapas. “Isi ulang meriam! Cepat!” teriaknya. Dalam hitungan detik, meriam-meriam kembali diisi dan diarahkan. “Siap! Satu, dua, tiga… TEMBAK!” Ratusan bola meriam terbang melintasi langit, melesat menuju naga yang masih berdiri di tengah kobaran api dan reruntuhan jembatan.

Di dalam kerajaan, suara dentuman meriam yang menggelegar membuat para penduduk semakin panik. Mereka berlarian, berteriak, dan saling mendorong, mencari perlindungan. Namun, di tengah kepanikan itu, para prajurit Aender muncul dari atas bukit, membantu mengarahkan mereka ke tempat aman. Mereka menenangkan dan menuntun penduduk menuju ruang bawah tanah istana, tempat satu-satunya harapan perlindungan.

Sementara itu, Albert dan pasukannya dengan cepat bergerak turun ke kaki kerajaan, berderap menuju gerbang. Mereka tahu, waktu tak berpihak pada mereka. Naga itu harus dihentikan sebelum berhasil menembus gerbang kerajaan yang masih kokoh berdiri, untuk saat ini.

Suara khas dentuman kaki-kaki besi para ksatria menggema di udara, mengguncang tanah di bawah mereka. Setiap langkah mereka membawa beban harapan dan tanggung jawab besar. Dari atas benteng, para prajurit Azter muncul seperti badai, teriakannya menggema kuat di tengah-tengah kepanikan yang melanda kota. “SEMUA TETAP TENANG, TERTIB! KAMI AKAN MELINDUNGI KALIAN! IKUTI ARAHAN KAMI DAN KALIAN AKAN SELAMAT!” suara pemimpin prajurit itu mengguncang hati, memberikan harapan bagi penduduk yang berlarian di bawah ancaman kegelapan yang semakin dekat.

Dengan gagah, pasukan Azter mengangkat perisai besar mereka ke atas, membentuk barisan yang kokoh seperti tembok besi. Mereka bergerak cepat, terorganisir, membantu menuntun penduduk yang ketakutan ke tempat perlindungan. Di bawah bayangan istana yang megah, ruang bawah tanah yang kokoh menjadi harapan terakhir bagi mereka yang mencari keselamatan dari ancaman iblis yang mendekat. Para prajurit tak henti-hentinya memberi komando, suara mereka menenangkan di tengah kepanikan yang menggantung di udara.

Sementara itu, di kejauhan, Albert—pangeran dari kerajaan Bismuth—dan pasukannya turun dari puncak kerajaan, berpacu melawan waktu. Mereka bergegas menuju gerbang utama, satu-satunya garis pertahanan yang tersisa antara kerajaan dan kengerian yang mengintai di luar. Naga itu sudah terlalu dekat. Jika gerbang kerajaan runtuh, semuanya akan hancur.

Dinding-dinding tebal yang selama ini melindungi mereka mungkin masih kokoh, tapi tak ada yang tahu berapa lama lagi mereka bisa bertahan.

Di tengah kota, dikerumuni oleh warga yang berlarian, Azra berdiri dalam diam, merasakan hal yang campur aduk di hatinya, memikirkan hal-hal yang telah terjadi, dengan semua anugerah yang didapatkannya ia merasa istimewa dan dapat membantu pasukan bertempur.

Namun disisi lain ia merasa masih diberikan kesempatan untuk hidup, menikmati dunia, ia tidak tahan dengan rasa takut yang terpendam saat ia bertarung, rasa takut akan kematian. seperti terbengkalai di langit, terbuai oleh angin yang tajam, dingin, dan menyakitkan.

“Ayah... apa yang harus aku lakukan?” Azra berbisik pelan, matanya terarah pada langit kelam. “Kau selalu punya jawaban untuk segala masalah yang tak bisa kupecahkan...” suara Azra tenggelam dalam gemuruh angin dingin yang berhembus tajam, seolah merajam pikirannya dengan rasa takut yang tak terucapkan.

Dari kejauhan, terdengar suara komando yang keras. “Naga itu masih hidup! Lepaskan meriam! Tembak!” Perintah tersebut disusul oleh dentuman keras yang mengguncang jembatan batu di luar gerbang. Ledakan demi ledakan menghantam tubuh naga, namun, sang makhluk perkasa hanya tampak semakin marah. Gerakannya menjadi lebih lincah, lebih cepat, seolah-olah amarahnya memberikan kekuatan baru.

Bola-bola meriam yang diluncurkan oleh para prajurit hanya mampu melukai permukaan kulit kerasnya, tak mampu menahan gerakannya yang terus mendekati gerbang kerajaan.

Ketua prajurit tembok semakin panik. Dengan jarak yang semakin dekat, dia memerintahkan prajuritnya untuk mundur dan meninggalkan tembok, mencoba strategi lain. Namun, naga itu tak mau berhenti. Cakarnya yang tajam mencengkram bebatuan jembatan, meninggalkan retakan dalam setiap langkah. Mata sang naga bersinar dengan kemarahan dan keserakahan yang tak terpuaskan, tubuhnya yang besar melompat ke depan dengan kekuatan brutal, menghancurkan gerbang kerajaan yang megah dalam satu serangan mematikan.

BOOM!

Suara ledakan besar menggelegar ke segala penjuru. Puing-puing gerbang kerajaan berhamburan ke udara, menyelimuti medan pertempuran dengan debu tebal yang pekat. Naga dan penunggang terkejut saat melihat sekeliling, di balik reruntuhan gerbang, ratusan prajurit Bismuth sudah mengepung naga raksasa itu. Mereka berdiri tegak, membentuk barikade manusia yang memegang perisai besar tak tergoyahkan. Di tengah-tengah mereka, terlihat pangeran Albert, duduk tegak di atas kudanya yang gagah. Kuda itu menjingkrak, seolah merasakan ketegangan di udara.

Beberapa waktu sebelum robohnya gerbang, Albert berbicara, “di balik perisai besar kalian, ada banyak orang-orang yang dicintai! Ayah, Ibu, Anak-anak, dan Pasangan kalian.. Mereka semua berlindung di balik perisai kalian!! Tombak di tangan kalian adalah celah kebebasan kalian semua! jadi keluarkan seluruh tenaga dan wujudkan impian kalian semua!!

“BERSIAP!” teriak Albert, suaranya membahana, memenuhi langit yang dipenuhi asap perang. Pedang di tangannya terangkat tinggi, bersinar memantulkan cahaya matahari. “ANGKAT TOMBAK KALIAN! IBLIS TELAH DI DEPAN KALIAN! HANCURKAN DIA! BIARKAN MEREKA MERASAKAN KEKUATAN PASUKAN BISMUTH—PASUKAN TUHAN, PEMBASMI KEJAHATAN!”

Dengan sorak-sorai perang yang menggema, para prajurit bersiap untuk menghadapi naga yang mengamuk di depan mereka, pertarungan terakhir yang akan menentukan nasib kerajaan. Dalam detik-detik yang menegangkan itu, Albert tahu, kemenangan bukan hanya soal kekuatan.

Ini adalah soal keberanian, soal hati yang tak goyah di hadapan ketakutan. Pasukan Bismuth siap menghadapi iblis, dan di bawah komando Albert, mereka akan bertarung sampai nafas terakhir.

Contact :

Azimamoyo@gmail.com

© 2024. All rights reserved.