Check our store

CATCHING FIRE

Chapter 3

Ombak laut menghantam keras tebing pelabuhan Oracle, seolah ingin menghapus jejak-jejak pertempuran yang baru saja berakhir. Arus air menyapu darah yang berlumuran di tanah, menggantikan teriakan ketakutan dan penyesalan dengan suara air yang perlahan surut. Di udara, angin membawa aroma tajam kematian—bekas pertempuran yang menghancurkan pasar pelabuhan itu.

Jake berdiri di tepi pelabuhan, tubuhnya gemetar. Darah menggenangi sepatu botnya, dan napasnya berat, seolah dunia di sekelilingnya tiba-tiba menjadi terlalu kejam dan menakutkan. Ia mencoba tetap fokus, menekan tombol perangkat komunikasi, ia berusaha menghubungi pangkalan militer Menhilt yang berada di belahan Samudera lain. Tangannya yang gemetar terasa hampir tak mampu menahan perangkat itu.

Di sisi lain lautan yang membentang luas, sebuah pangkalan militer Amerika beroperasi dalam hiruk-pikuk yang menegangkan. Kapal-kapal dan pesawat tempur bersiap untuk lepas landas, sementara prajurit-prajurit dengan tergesa-gesa menyiapkan misil dan senjata berat. Serangan besar-besaran telah melanda kota-kota kecil di Amerika, dan mereka kini tengah menyalurkan kekuatan terakhir mereka untuk mempertahankan negeri tercinta mereka.

Di ruang komando, Laksamana Ester dari pangkalan militer Menhilt, sosok yang ditakuti bahkan oleh pasukannya sendiri, berdiri dengan penuh wibawa. Sorot matanya yang tajam mengawasi para prajurit yang bergegas di bawah perintahnya. Wanita itu telah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya di medan perang, tanpa banyak kesempatan untuk merasakan kedamaian dan hiburan. "Kerahkan armada dan pasukan!" perintahnya, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Habisi mereka semua. Sekali untuk selamanya."

Setelah memberikan perintah, ia berjalan dengan langkah keras menuju ruang komandonya, sebuah ruang sempit namun penuh dengan peta dan layar yang menampilkan situasi medan perang. Di sana, ia merasa sejenak lelah. "Dunia ini tidak memberiku kesempatan untuk bernapas," gumamnya lirih. "Setiap detik adalah kematian dan kehancuran bagi manusia."

Ia melirik meja di sudut ruangan, di mana telepon berdering tak henti-henti. Sambil menghela napas, ia mengangkat gagangnya. "M23, masuk. Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya tegang.

Di seberang lautan, Jake menahan napas sebelum berbicara. "Laksamana, ini Jake, dari pangkalan Uroboros. Pulau Oracle telah diserang. Makhluk langit... itu mereka telah menemukan kami."

Laksamana Ester mendengarkan dengan seksama. Suara Jake terdengar tegang namun tetap tegas. "Mereka menyerang pangkalan Uroboros. Kami bertahan sekuat tenaga, kami berhasil menumbangkan satu ekor naga, tetapi naga itu tidak sendirian. Dari balik kabut muncul naga yang jauh lebih besar dan lebih ganas. Kami sudah kehilangan sebagian besar kapal dan helikopter kami. Semua terbakar habis. Yang tersisa hanyalah satu kapal induk kami."

Ada jeda sejenak, lalu suara Jake terdengar semakin lemah. "Laksamana kami tidak akan mampu bertahan dari serangan berikutnya. Kami butuhkan bantuan, secepat mungkin. Pangkalan Menhilt adalah harapan terakhir kami untuk hidup dan menyelamatkan pulau Oracle."

Laksamana Ester mengusap wajahnya yang letih, merasa beban di bahunya semakin berat. Seluruh Amerika tengah dilanda serangan tingkat tinggi, dan kini Oracle, pulau misteri yang sangat jauh dari setiap benua, menghadapi kehancuran yang tak terelakkan. Ia tahu bahwa keputusan yang akan diambilnya bisa menentukan nasib ribuan nyawa.

"Jake," jawabnya dengan nada berat, "tetaplah bertahan. Gunakan semua pasukan yang tersisa dan pertahankan armada. Evakuasi warga sipil jika memungkinkan. Kami sedang menghadapi serangan di kota-kota Amerika, tapi aku akan mencoba mengirimkan armada yang tersisa. Besok pagi, kami akan berangkat menuju Oracle."

Telepon terputus, dan sejenak suasana ruangan terasa hening. Laksamana Ester menatap peta besar di hadapannya, matanya menelusuri garis-garis pantai dan lautan yang akan segera dipenuhi dengan kapal-kapal tempurnya. Dalam hening itu, hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya: "Harapan manusia semakin kecil."

Suara armada laut Menhilt berbunyi keras, tetapi Laksamana Ester tidak memperhatikannya. Telapak tangannya masih menempel di gagang telepon yang baru saja ia letakkan, dadanya terasa sesak oleh tekanan. Telepon itu kembali berdering, membuatnya tersentak. Terdengar Kembali suara Jake yang semakin tegang.

"Laksamana," "anak emas Hisao—dia ada di pulau ini. Aku harap kau mengerti, Laksamana. Kami tidak bisa menunggu lebih lama. Jika sesuatu terjadi padanya..."

Wajah Laksamana Ester seketika menegang, kemarahan bercampur kecemasan menghantamnya tanpa ampun. Anak Hisao? Kenapa dia ada di sana? pikirnya kesal, namun tak ada waktu untuk meragukan keputusan itu. Hisao, sosok ilmuan yang dihormati oleh banyak orang, tak mungkin sembarangan menempatkan darah dagingnya di tengah bahaya tanpa alasan yang kuat.

"Dasar," gumamnya dengan nada marah, sebelum menghela napas berat. "Baiklah, Jake. Kami akan lakukan yang terbaik." Dentingan gagang telepon yang ditutup dengan kasar menggema di ruang komando, bergema di antara layar-layar dan peta-peta medan perang. "Tidak ada waktu untuk berpikir panjang," desis Menhilt pada dirinya sendiri, "monster pembunuh itu sudah ada di Oracle."

Dengan suara lantang, ia berteriak kepada para perwira yang berkumpul di ruangan, "Siapkan armada tempur terakhir Menhilt! Kita akan menuju Oracle hari ini..!"

Dari dasar jurang yang gelap, melahap cahaya yang memancar dari langit-langit. Batu-batu besar dan batang pohon jatuh kedalam. Dari kejauhan, terlihat Azra berdiri di atas tebing, Azra memandang naga besar di hadapannya dengan tatapan penuh amarah, napasnya terengah-engah, tapi tekadnya kuat. Dia harus bertahan. Tak jauh darinya, naga raksasa itu menggeram dengan napas yang membara, perutnya membuncit, siap menyemburkan api mematikan.

NEO memberikan informasi yang penting, “Nona Azra Kita tidak bisa mengandalkan perisai elektromagnetik lagi. Ledakan semburan naga ini bisa mendorong kita ke jurang.”

Azra mengangguk dan menjawab, “NEO, dari tebing yang tinggi ini aku merasakan angin yang sangat kencang ke arah barat. Ledakan awal semburan naga itu dapat menembus arus angin, membuat kita terpental dan terbakar sehingga kita harus mengecohnya agar tidak terkena ledakan awal, setelah itu baru kita bisa melepaskan serangan balik.”

“Aku akan berlari ke barat, lalu berputar balik dan berlari ke timur melawan arah angin, menahan sekilas semburan naga itu dengan perisai kita,” lanjut Azra.

Boom! Semburan api naga menghantam tanah, tapi Azra telah bergerak. Ia berlari secepat mungkin ke arah barat, namun panas api terasa semakin mendekat. Meski tak bisa sepenuhnya menghindari kecepatan semburan naga, dia berbelok tajam ke timur, angin yang berhembus kencang melindunginya dari semburan api yang membara.

"Wohooo! Monster bodoh itu mengikuti aku," serunya, tubuhnya berputar cepat saat api mengejar. Azra dengan cepat mengeluarkan perisainya, menahan semburan api. Setelah beberapa Langkah semburan api itu tak mampu menembus angin yang kuat, dan Azra berhasil berlari melewatinya tanpa terluka. Dengan senyum tipis di wajahnya, ia mengarahkan pandangannya kepada naga yang mulai lelah.

Tanpa naga sadari semburan apinya tidak dapat menggapai Azra karena arah angin bukit yang berlawanan dengan arah menghadang semburan naga dan berbalik menutupi pandangan naga, dengan cepat Azra memanfaatkan peluang itu, melompat dan memukul rahang naga itu dengan tinju besinya, membuat naga kehilangan keseimbangan.

Naga menjadi gila dan tak terkendali, menghempaskan cakar besarnya saat Azra mendarat di tanah di sekitar dirinya, Azra yang melihat serangan naga datang, mencoba menghindari serangan-serangan naga, dengan melakukan salto ke belakang menjauhi naga dengan cekatan, menghindari cakar raksasa naga yang membelah tanah.

"Seranganmu tak ada gunanya," pikir Azra. Namun, kekuatan naga tak bisa diremehkan. Setiap gerakannya membawa angin badai yang bisa menghancurkan bebatuan di sekitarnya. Azra, meski terluka dan kelelahan, terus menghindar, menunggu momen yang tepat.

Saat ia melihat naga yang mulai kehabisan tenaga, Azra bersiap melancarkan serangan terakhirnya. Tinju besinya siap untuk menghantam wajah naga, namun penunggang naga, yang tersembunyi dalam bayang-bayang kabut, menarik tali kendali dengan cepat. Naga itu berputar dengan kekuatan tak terduga, tubuhnya berbalik cepat saat Azra melompat.

Dorr! Dunia Azra tiba-tiba menjadi gelap. Tubuhnya melayang di udara, tertiup angin keras. Ia tak sadar bahwa ekor naga telah menghantamnya dengan kekuatan luar biasa, menghempaskannya tinggi ke langit.

"Bangun, Nona Azra!" NEO berteriak, panik.

Cahaya yang terang perlahan masuk ke penglihatan Azra. Semuanya buram, tubuhnya serasa melayang di antara awan-awan yang tinggi. Sebelum ia bisa merespons, rasa sakit dan ketakutan menghantamnya bersamaan. Azra melayang tak terkendali, di atas samudera luas, jatuh dari ketinggian yang mematikan.

“Aku tidak akan mati di sini,” bisik Azra pada dirinya sendiri.

Contact :

Azimamoyo@gmail.com

© 2024. All rights reserved.